Wawancara Sapardi Djoko Damono

kumparan menemui legenda sastra Indonesia di tengah kesibukannya menjadi pengajar di usianya yang sudah 77.

Tio Ridwan
Created by Tio Ridwan (User Generated Content*)User Generated Content is not posted by anyone affiliated with, or on behalf of, Playbuzz.com.
On 19 Jun 2017
Help Translate This Item

Hidup Penyair Besar Itu

kumparan

kumparan say

Masih mengajar?

Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono say

Oh, tadi nguji S-2. Temen dari FFTV mau bikin film. Yang diujikan bukan filmnya, tapi rancangan membuat filmnya itu. Jadi desain produksinya.

kumparan

kumparan say

Menjadi pengajar soal film juga?

Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono say

Mata kuliah saya sekarang narasi visual. Jadi ya belajar lagi. Kebetulan dia minta film.

Di sini apa-apa boleh kok, nggak ada jurusannya. Satu-satunya sekolah di dunia yang barangkali nggak ada jurusannya. Hahaha.

kumparan

kumparan say

Sejak kapan mengajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ)?

Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono say

Begitu pensiun, saya kemudian diminta oleh beberapa universitas untuk bekerja. Saya nggak mau. Saya juga bosen sama temen-temen di UI.

Kemudian ditawari sama Sardono W Kusumo itu, ya sudah saya terima. Itu orang Solo itu, sahabat saya. Jadi oke-oke saya bantu.

kumparan

kumparan say

Sekarang sibuk apa selain mengajar?

Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono say

Kemarin saya main film, Mas. Hahaha.

kumparan

kumparan say

Yang Hujan Bulan Juni itu?

Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono say

Iya, disuruh main. Waduuuh. [Padahal] saya bilang saya nggak mau terlibat apa-apa.

Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono say

Sarwono, Pingkan, gue, dan Katsuo.

kumparan

kumparan say

Pantas kemarin sempat update Twitter sedang di Sulawesi ya...

Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono say

Di Manado sama Makassar. Kalau di Manado saya nonton doang, tapi diberitahu kalau di Jakarta nanti ikut main, halah...

kumparan

kumparan say

Sekarang sudah selesai?

Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono say

Produksinya sudah selesai. Tinggal editing.

2017 adalah tahun yang sibuk betul buat Sapardi. Rilis ulang enam buku puisi, menerbitkan sebuah novel, dan mengalih-visualkan novelnya menjadi film bukanlah catatan yang mudah bagi seorang berusia 77 tahun. Tapi setelah namanya melejit gara-gara kumpulan puisi DukaMu Abadi pada 1969, Sapardi memang tak pernah betul-betul berdiam diri.

Penyair yang meraih The Putera Poetry Award (1983), The Jakarta Arts Council Literary Award (1984), The SEA Write Award (1986), The Achmad Bakrie Award for Literature (2003), dan The Akademi Jakarta Award (2012) itu secara konsisten terus melahirkan puluhan karya fenomenal.

Setidaknya, ada 18 kumpulan puisi yang telah ia terbitkan selama 50 tahun era kepenyairannya, 4 novel diselesaikannya, dan 9 kajian sastra ia persembahkan untuk negerinya. Sapardi memenuhi janjinya, bahwa: "[...] urusan penyair adalah bagaimana menyegarkan bahasa yang sudah dikotori oleh sesuatu seperti sekarang."

Guru yang Bersyair

kumparan

kumparan say

Seorang Sapardi lebih senang dipanggil dengan predikat dosen atau penyair?

Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono say

Saya? Guru. He he.

kumparan

kumparan say

Kenapa guru? Kenapa bukan penyairnya?

Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono say

Ya nggak tahu. Kan saya dapat nafkah dari jadi guru. Dari penyair kan nggak dapat apa-apa.

Penyair dapat duit darimana? Ya to? Itu dari guru.

kumparan

kumparan say

Dulu mau jadi guru atau jadi penyair?

Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono say

Waktu sekolah saya memutuskan udah jadi guru aja. Ya jadi guru sampai sekarang.

kumparan

kumparan say

Dulu bukannya sedari SMA sudah merintis jadi penyair?

Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono say

Saya masih SMA, nggak punya pikiran apa-apa. Suka nulis puisi ya nulis, gitu aja.

Nggak punya niat apapun. Nggak ada niat mau jadi penyair, gitu.

Sapardi mulai menulis pada umurnya yang masih belasan. Semasa kelas dua SMA, dua bilah puisinya ditayangkan pada majalah Seni dan Kebudayaan yang diasuh oleh Hans Bague Jassin.

Gulung koming saya,” kenang Sapardi ketika ditanyakan soal klise memorinya tersebut. Sapardi muda pantas bangga. Untuk anak kelas dua SMA, karyanya bertarung --dan unggul-- melawan penyair yang lebih ‘senior’ macam M. Junus Melalatoa hingga Gerson Poyk.

Dua sajak itu berjudul Ulang Tahun (1958). Salah satu baitnya:

biarlah malam ini tjuma kita melandjutkan hidup sederhana
diwadjah itu dulu sedan putus asa singgah meminta
dan kalau kini aku sendiri mesti menikmatkan djantung usia
disela djemari perhitungan jang asing telah menunggu

Dan Liburan (1958), yang bait ketiganya:

liburan ini kupinggah hatiku kewadjah ibu menantuku
musim dulu-dulu kembalilah memangku tawa dan airmata

Mengutip Hasan Aspahani, "seluruh bait-baitnya matang dan utuh dan saling mengutuhkan".

Bagaimana Hidup Penyair Besar Itu

kumparan

kumparan say

Ingat apa tulisan pertama?

Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono say

Yang pertama saya nggak inget. Tapi kebetulan saya menyimpan tulisan-tulisan tangan saya sejak SMA itu. Kemarin dipamerkan di Makassar (Makassar International Writer Festival 2017).

Mungkin akan dipamerkan di Jakarta lagi, dan dijadikan buku. Jadi tulisan tangannya sendiri bakal ditampilkan, orang Gramedia bilang gitu.

Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono say

Beberapa puisi-puisi pertama saya.

kumparan

kumparan say

Tadi menyebut penyair tak mungkin dapat duit. Memangnya tidak mungkin di Indonesia seseorang hidup dari menjadi seorang penyair?

Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono say

Mungkin ada, mungkin. Tapi saya kok nggak lihat, ya? Mungkin saya nanti. Hahaha.

Tapi kalau dari novelis itu ada, banyak. Sekarang banyak sekali novelis itu yang kaya raya. Karena memang orang kan beli cerita.

kumparan

kumparan say

Kalau penyair cuma mengandalkan puisi?

Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono say

Oh nggak pernah ada, nggak sanggup, belum pernah lihat.

Di manapun, tidak hanya di sini. Di Amerika, di Jepang, di mana-mana. Penyair itu umumnya kalau di Amerika itu selalu mempunyai pekerjaan rangkap. Yang rangkap penyairnya atau pengajarnya, nggak tahu.

Dan pekerjaan orang-orang itu bisa apa saja. Bisa di bank, bisa di apa. Bahkan ada beberapa yang saya tahu itu kerja dulu habis-habisan gitu, nanti kalau sudah kekumpul --karena ia ingin jadi penyair-- ia baru nulis, gitu.

Ada yang baru mulai nulis umurnya sudah 40 tahun, nggak apa-apa. Karena nulis itu kan nggak ada batas umur.

kumparan

kumparan say

Sebagai penyair sendiri, adakah target yang didambakan tapi belum tercapai?

Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono say

Sebagai penulis? Oh, ya, sepertinya tidak ada.

kumparan

kumparan say

Sudah tercapai semuanya, ya?

Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono say

Sebenarnya, seperti yang sudah saya katakan tadi, saya tidak berkeinginan menjadi apapun, kecuali jadi guru. Karena itu saya pikir yang paling gampang.

Mau jadi jenderal, ya nggak boleh to? Orang kurus seperti ini masak jadi jenderal. Jadi ya sudah, jadi guru gampang.

Nah ketika saya memutuskan jadi guru itu tetap saja saya nulis. Saya kan nulis sejak SMA, kemudian waktu sekolah di UGM, saya nulis terus.

Kegiatan saya nulis: nulis drama, main drama, menyanyi, segala macam. Dan itu pada waktu itu tidak memberikan nafkah sama sekali.

Sapardi percaya bahwa membuat puisi tak perlu menunggu ilham. "Inspirasi kok ditunggu," katanya suatu ketika. "Kalau ingin nulis ya nulis saja, tidak usah memikirkan bagus atau jelek."

Ia juga mengaku tak punya resep khusus, meskipun menurutnya, untuk menulis puisi yang jernih diperlukan sebuah "jarak". Jarak di sini maksudnya adalah sela waktu yang diperlukan seorang penulis untuk mampu melihat suatu hal tanpa emosi.

"Menulislah ketika sudah melepas emosi, biarkan emosi tersebut menjauh dulu hingga lima meter di depan," ucapnya suatu ketika.

"Kalau Saudara sedang sangat marah, misalnya, maka itu tidak akan jadi. Saya saat menulis puisi Dongeng Marsinah itu dalam keadaan sangat marah, makanya butuh waktu sampai tiga tahun untuk menyelesaikannya," katanya dalam workshop Festival Pembaca Indonesia 2015 di Jakarta pada Sabtu (5/12/2015) seperti dikutip Antara.

Dongeng Marsinah, puisi tersulit yang pernah dibuatnya, merupakan salah satu puisi yang terdapat dalam kumpulan Ayat-ayat Api (2000). Salah satu baitnya:

Marsinah, kita tahu, tak bersenjata,
ia hanya suka merebus kata
sampai mendidih,
lalu meluap ke mana-mana.
“Ia suka berpikir,” kata Siapa,
“itu sangat berbahaya.”
Marsinah tak ingin menyulut api,
ia hanya memutar jarum arloji
agar sesuai dengan matahari.
“Ia tahu hakikat waktu,” kata Siapa,
“dan harus dikembalikan
ke asalnya, debu.”

"Bahkan sampai sekarang pun kalau saya membaca lagi puisi itu, saya masih marah dan ingin memperbaikinya," kata Sapardi.

Bagaimana Guru Besar Itu Bersyair

kumparan

kumparan say

Bagaimana proses kreatif menulis puisi seorang Sapardi?

Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono say

Untuk saya, dan mungkin untuk banyak orang dan banyak penyair itu, yang memicu kita menulis itu bermacam-macam, hampir semua hal bisa.

Ini, ketemu begini, juga bisa menyebabkan saya menulis. Membaca koran, menonton televisi, film, atau membaca buku, semuanya bisa (menjadi pemicu).

kumparan

kumparan say

Lalu di waktu apa seorang Sapardi biasanya mulai menulis puisi?

Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono say

Saya bisa menulis kapan saja --pagi, siang, sore, malam.

Dan di mana saja --di rumah, di tempat tidur, di pesawat terbang, di bus. Nulis tangan gitu kan bisa, sejak dulu begitu.

kumparan

kumparan say

Jadi, fase menunggu ide dan inspirasi itu tidak ada ya?

Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono say

Nah, bagi saya yang penting itu niat untuk nulis.

Jadi kalau saya sudah pingin nulis, saya duduk dan nulis. Dan bahan yang sudah dalam kepala saya itu yang muncul dalam tulisan itu.

Jadi, tidak. ‘Saya mau nulis apa?’ itu kok tidak muncul. Mungkin sekali dua kali saya pernah, tapi umumnya tidak.

kumparan

kumparan say

Berarti ketika ingin menulis, bisa muncul sendiri begitu?

Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono say

Iya, karena di dalam benak saya itu --dan dalam benak semua orang-- kan sudah selalu ada pengalaman, penghayatan, informasi yang menumpuk di kepala.

Dan otak kita itu memasak sendiri yang masuk ke dalamnya itu diproses, dan kemudian kalau sudah niat nulis keluar.

Tanpa harus ada dorongan sesuatu terjadi, nggak usah itu. Karena dorongannya sudah lama, dari yang sehari-hari.

kumparan

kumparan say

Pernah merasa macet?

Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono say

Oh iya pernah. Ya itu, lah, pernah tujuh tahunan saya nggak nulis.

kumparan

kumparan say

Wah, lama sekali. Kenapa?

Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono say

Ya saya tidak tahu, pokoknya nggak pingin nulis, nggak punya niat untuk nulis.

Mungkin pada waktu itu saya sibuk sebagai pejabat di universitas itu.

kumparan

kumparan say

Tapi tidak terbebani, seorang penyair besar terkenal tidak menulis?

Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono say

Ya, tentu, tentu, agak terbebani.

Tujuh tahun Sapardi tak menulis puisi. Menjadi pejabat di universitas itu, maksudnya adalah menjadi dekan di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.

Di masa-masa penuh kesibukan itu, Sapardi sebetulnya masih berusaha menulis. "Tentu saya nulis, tapi ya, hasilnya nggak seperti biasanya, begitu."

kumparan

kumparan say

Berarti menurut Sapardi sendiri, ada karya yang bagus dan ada yang biasa saja?

Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono say

Tentu ada, kan ukuran orang berbeda-beda.

Selama saya bertambah tua ini ukurannya bisa berubah-ubah juga.

Dan juga saya ini kan mengajar sastra, jadi mungkin ada banyak teori-teori baru yang masuk kepala saya.

Jadi mungkin itu mempengaruhi bagaimana saya melihat karya saya sendiri, juga karya orang lain.

kumparan

kumparan say

Beda Sapardi semasa SMA dan saat ini dalam melihat karya sastra?

Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono say

Oh ya lain jauh sekali. Yang dulu kan saya nggak punya apa-apa. Di SMA dulu nggak diajari sama sekali teori sastra, suruh baca buku saja dulu. Bahasa Indonesia itu dulu ya cuma baca, nggak pakai teori.

Sapardi Djoko Damono. Ia lahir hampir 80 tahun yang lalu, tepatnya pada 20 Maret 1940. Memulai jejak sebagai penyair di kelas 2 SMA, Sapardi lanjut berkuliah di jurusan Bahasa Inggris Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Kini, Sapardi menjadi entitas yang tak terelakkan di belantara sastra Indonesia. Pernah dengan muram Nirwan Dewanto --kritikus sastra itu-- berujar, bahwa selalu ada "faktor Sapardi" di kebanyakan karya penyair baru. Karya Sapardi, yang disebut Goenawan Mohamad sebagai "Nyanyi Sunyi Dua" setelah Amir Hamzah itu, menjadi sebuah puisi yang harus. Dasar. Wajib. Perlu.

Meski begitu, Sapardi menganggapnya wajar. Bahkan Chairil pun, menurutnya, getol "mencari puisi dunia dan menerjemahkannya untuk bikin bahasa sendiri".

"Kecemasan itu mungkin lantaran tidak ada yang “mengubah” bahasa saya," ucap Sapardi. Namun Sapardi optimis, akan ada sastrawan-sastrawan baru yang memperbarui bahasa sastranya --seperti dulu ketika Rendra dan Sapardi mengubah bahasa yang "puisi-puisi gelap" Pujangga Baru seperti Chairil yang mendominasi sastra Indonesia 40-50an.

Joko Pinurbo, untuk menyebut salah satu, disebut Sapardi punya usaha mengubah bahasanya. Sedangkan Joko Pinurbo sendiri, saat diwawancara kumparan (kumparan.com) beberapa bulan lalu, menyebut kemunculan penyair muda macam Beni Satryo merupakan kabar yang dahsyat bagi perpuisian Indonesia.

Semoga saja.

These are 10 of the World CRAZIEST Ice Cream Flavors
Created by Tal Garner
On Nov 18, 2021